Pusat Pertumbuhan Wilayah

 







A. Kompetensi Inti :

 1. Menghayati dan mengamalkan ajaran agam yang dianutnya.

2. Menunjukkan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, dan proaktif, sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

 3. Memahami, menerapkan, meganalisis, pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah.

4. Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, dan mampu menggunakan metode sesuai kaidah keilmuan.

 B. Kompetensi Dasar :

3.2 Memahami konsep wilayah dan pewilayahan dalam perencanaan tata ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

 4.2 Membuat peta pengelompokkan penggunaan lahan di wilayah kabupaten/kota/provinsi berdasarkan data wilayah setempat.

 C. Indikator :

1. . Mengidentifikasi indikator pembangunan suatu wilayah

2. Mengidentifikasi pusat-pusat pertumbuhan wilayah yang ada di Indonesia

3. Menganalisis teori-teori pertumbuhan wilayah menurut para ahli

4. Menganalisis pengaruh dari pusat-pusat pertumbuhan bagi wilayah

5. Menjelaskan lingkup dan kegiatan dalam penataan ruang wilayah

6. Menjelaskan hirarki dalam penataan ruang di Indonesia

7. Menjelaskan kebijakan dalam pembangunan wilayah

 

Materi

 Kutub dan Pusat Pertumbuhan Wilayah

1. Teori Dasar Kutup Pertumbuhan dan Pusat Pertumbuhan Wilayah

a. Teori Tempat yang Sentral (Central Place Theory)

Teori tempat yang sentral (Central Place Theory) pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli geografi bangsa jerman pada tahun 1933, yang bernama Walter Christaller dalam tulisanya yang berjudul : “ Die Zentralen Orte In Suddeustschand” atau dalam Bahasa inggrisnya “ Central Place In South Germany”. Dalam teori tersebut, Christaller menitik beratkan pada penentuan banyaknya kota, besarnya kota, dan persebaran kota. Untuk menganalisis penentuan banyaknya kota, besarnya kota, dan persebaran kota menggunakan dua konsep sebagai berikut.

 1) Jangkauan (range) adalah jarak yang perlu ditepuh orang untuk mendapatkan barang-barang kebutuhan.

2) Ambang (threshold) adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan keseimbangan suplai barang.

Sutau lokasi pusat aktivitas yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan penduduk harus berada pada pusat yang sentral. Maksud tempat yang sentral adalah suatu tempat atau kawasan yang memungkinkan partisipasi manusia yang jumlahnya maksimal, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun mereka yang menjadi konsumen dari barangbarang pelayanan yang dihasilkan. Tempat yang sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk heksagonal atau segi enam . Daerah segi enam merupakan wilayah-wilayah yang penduduknya yang mampu terlayani oleh tempat yang sentral tersebut. Pendapat ini diperkuat oleh Agust Locosh seorang ahli ekonomi jerman pada tahun 1945, teori tempat yang sentral dapat digunakan untuk menganalisis pusat-pusat pelayan dan kegiatan ekonomi yang sudah ada terhadap daerah sekitarnya. Misalnya, perencanaan lokasi pusat perniagaan, pasar, rumah sakit, sekolah, dan pelayanan sosial lainya. Tempat yang sentral dapat berupa kota besar, pusat perbelanjaan, pasar, rumah sakit, ibukota provinsi, dan kabupaten. Tempat yang sentral memiliki pengaruh yang berbeda-beda sesai dengan besar kecilnya wilayah tersebut , maka terdapat hierarki atau tingkatan tempat yang sentral. Kawasan dengan daya pengaruh yang berbeda-beda berdasarkan jenis pada pelayanan, hierarki tempat yang sentral dapat dibedakan menjadi tempat sentral yang berhierarki 3, 4, dan 7.

1)      Tempat sentral berhirarki 3 (K-3)

Tempat sentral yang berhierarki 3 (K-3) disebut juga situasi pasar optimal. Hierarki 3 merupakan pusat pelayanan yang berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah disekitarnya. Kasus pasar optimal memiliki pengaruh 1/3 bagian dari wilayah tetangga di sekitarnya yang berbentuk heksagonal.


2)      Tempat sentral berhirarki 4 (K-4)

Tempat sentral yang berhirarki 4 disebut juga disebut dengan situasi lalulintas optimum. Artinya, di daerah tersebut dan daerah-daerah sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral akan senantiasa memberikan kemungkinan rute lalulintas yang paling efisien. Situasi lalu lintas optimum memiliki pengaruh ½ bagian dari wilayah-wilayah tetangga disekitarnya yang berbentuk heksagonal.

3)      Tempat sentral berhirarki 7 (K-7) Tempat sentral berhierarki 7 (K-7) disebut sebagai situasi administrasi optimum. Tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah tetanggaya, selain mempengaruhi wilayah sendiri. Tempat sentral yang berhierarki 7 dapat berupa kota pusat pemerintahan.

Ada dua syarat untuk menerapkan teori tempat sentral yang dikemukakan oleh Christaller, yaitu keadaan topografi yang seargam sehingga tidak ada daerah yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lainya dalam hubunganya dengan jalur transportasi. Syarat yang kedua adalah tingkat ekonomi penduduk yang relatif homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, misalnya yang menghasilkan padi, kayu, dan batu bara.

b. Teori Polarisasi Ekonomi

Teori ini dikemukakan oleh Guntur Myrdad yaitu setiap wilayah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya Tarik bagi tenaga buruh dari pinggiran. Bahkan bukan hanya tenaga buruh, melainkan banyak hal misalnya tenaga terampil dan modal. Teori ini mengungkapkan bahwa semakin lama interaksi tersebut terjalin akan menimbukan kenampakan baru yakni polarisasi pertumbuhan ekonomiatau disebut juga dengan kutub pertumbuhan ekonomi yang cenderung merugikan daerah pinggiran. Dengan adanya backwash effect terjadi ketimpangan wilayah, meningkatnya kriminalitas, dan kerusakan di daerah pinggiran.

C. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan atau dikenal dengan istilah growth poles theory. Pertama kali dikemukakan oleh peroux 1955. Porroux dalam penelitianya lebih menekankan pada proses-proses pembangunan. Pendapat mengenai teori kutub pertumbuhan menjelaskan bahwa pembangunan bukan merupakan suatu proses yang terjadi secara serentak, tetepi muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda-beda. Wilayah yang dijadikan pusat pembangunan disebut kutub pertumbuhan. Pemusatan wilayah-wilayah pertumbuhan dibedakan menjadi 3 komponen berikut.

1)      Wilayah khusus, misalnya daerah terbelakang dan daerah aliran sungai

2)       Prinsip homogenitas, misalnya wilayah geografi fisisk atau sosial , wilayah budaya dan wilayah ekonomi

3)       Konsep hubungan ruang, yaitu wilayah fungsional yang disebut juga wilayah terpusat

Industri baru akan memilih tempat yang berdekatan dengan daerah industri yang telah ada karena telah tersedia fasilitas yang memadai,seperti listrik, air bersih, dan jalan. Daerah yang maju disebut dengan pusatpertumbuhan, sedangkan daerah yang belum maju disebut dengan pinggiran. Proses pembentukan pusat pertumbuhan mengikuti fase-fase pertumbuhan sebagai berikut.

1)      Fase I, yaitu fase praindustri

Pada masa awal terdapat wilayah yang belum berkembang, yang ditandai oleh banyak kota kecil yang tersebar merata dan setiap kota tidak mendominasi kota yang lain. Kondisi ekonomi wilayah-wilayah tersebut cenderung tidak berkembang dan setiap kota hanya melayani wilayah sendiri.

2)    Fase II, yaitu fase industri awal Fase ini terjadi pada salah satu kota yang berkembang lebih cepat daripada yang lainya, sehingga tumbuh menjadi primate city. Kota dapat berkembang lebih cepat karena memiliki kelebihan baik di bidang sumber daya alam maupun pada sumber daya manusia. Primate city merupakan kota terbesar yang menjadi pusat wilayah atau disebut dengan core (C) = Pusat, yang mendominasi kota-kota lainya. Pada fase ini terjadi perpindahan tenaga terampil, sumber daya alam, dan modal dari daerah pinggiran

3)      Fase III, yaitu fase transisi Pada fase ini industri industri yang sedang berkembang, pada primate city akan mendominasi akan mendominasi sebagian besar wilayah. Namun, tidak sekuat fase kedua karena sekitar primate city mulai berkembang pusat-pusat pertumbuhan. Bahan mentah, tenaga terampil, dan modal tidak hanya mengalir di primate city, tetapi juga menuju ke pusat-pusat pertumbuhan yang lain. Pada fase ini perkembangan wilayah belum stabil karena masih terdapat kantong-kantong wilayah yang berkembang.

4)       Fase IV, yaitu integrasi spasial Pada fase ini setiap kota telah berkembang sesuai dengan hierarkinya, sehingga sudah terbentuk pusat-pusat pertumbuhan yang saling berinteraksi dengan pusat pertumbuhan yang lainya. Setiap wilayah telah terintegrasi secara nasional dan tidak ditemukan lagi katalog-katalog wilayah yang terbelakang. Jika semua wilayah telah berinteraksi dengan wilayah lain secara fungsional, akan terbentuk hierarki kota dengan baik.

2. Interaksi antara Pusat Pertumbuhan Daerah dan Sekitarnya

Interaksi antara pusat pertumbuhan secara sosial,ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan memiliki interaksi tibal balik antara pusat pertumbuhan dengan daerah disekitarnya.

 a. Sistem Keruangan Pertumbuhan Kota menurut Hagget

1) Perbedaan keruangan dalam berapa kelompok masyarakat menyebabkan adanya keinginan untuk berinteraksi sehingga akan muncul pola perpindahan.

2) Proses pola perpindahan terlihat tanpa ada rintangan dan bergerak ke seluruh arah tanpa melalui jalur tertentu. Umumnya perpindahan itu melalui jalur kanal atau koridor. Gambaran tersebut menjelaskan eleman kedua yang perlu dijadikan sebagai analisis adalah karakteristik perpindahan melalui kanal, yaitu jarring-jaring dari pinggiran sampai ke pusatnya. Hal ini sebagai cerminan dari sistem transportasi dari pinggiran ke kota dan berakhir pada lokasi yang unggul sebagai pusat suatu sistem.

3) Proses dekomposisi, yaitu pembentukan pusat atau nodes, Kemunculan dekomposisi dari pusat-pusat wiayah (nodal region) yang disebabkan oleh keunggulan dari beberapa lokasi pusat yang satu akan unggul dari yang lainya.

 4) Perkembangan proses dekomposisi yang mengarah pada terbentuknya perjenjangan hierarki pusat-pusat tersebut merupakan suatu sistem organisasi dari pusat wilayah.

 5) Perlu analisis daerah daerah pembentukan asosiasi, tempat elemenyang ada di permukiman tersebut . Surface yang berupa areal lahan yang disita terdapat fenomena pusat pemukiman dan jarring-jaring jalan yang tersusun dalam bentuk bermacam-macam penggunaan lahan.

6) Perubahan yang terjadi tidak merata di seluruh permukaan bumi, hanya terjadi pada satu atau beberapa lokasi tertentu. Lokasi tersebut disebarkan sepanjang rute melalui pusat tertentu dan menyebar dengan sistem perjenjangan. Proses peubahan melalui ruang dan waktu disebut difusi keruangan.

b. Karakteristik Pertumbuhan Kota menurut Houston J.M

1) Stadium pembentukan inti kota (nuclear phase) Stadium ini merupakan tahap pembentukan central busines distric (CBD. Pada masa ini baru dirintis pembangunan gedung-gedung utama sebagai penggerak kegiatan yang ada dan baru mulai meningkat. Pada saat ini pula daerah yang mula-mula terbentuk oleh banyak gedung yang berumur tua dan berbentuk klasik serta pengelompokan fungsi kota yang termasuk penting. Pada tahap ini , kenampakan kota akan berbentuk bulat karena masih berada pada awal pembentukan kota, kenampakan kota yang berbentuk hanya meliputi daerah yang sempit

2) Stadium formatif (formative phase) Pada tahap ini perkembangan industrI dan teknologi mulai meluas termasuk sector transportasi, komunikasi, dan perdagangan. Semakin maju sector industri, transportasi, dan perdagangan, semakin meluas dan kompleks keadaan pabrik dan kondisi perumahan masyarakat kota. Daerah- daerah pekembangan tersebut lokasinya berbeda disepanjang jalur transportasi dan komunikasi.

3) Stadium moderen (modern phase) Pada tahap ini kenampakan kota jauh lebih kompleks dan mulai timbul gejala penggabungan dengan pusat-pusat kegiatan di kota satelit dan kota lainya. Usaha identifikasi kenampakan kota mengalami kesulitan, terutama pada penentuan batas-batas fisik terluar dari kota yang bersangkutan. Kenyataan ini terjadi karena persebaran fungsi pelayanan telah masuk ke daerah pedesaan.

I. Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah

1. Batas Wilayah Pertumbuhan

Menentukan batas dalam membangun suatu wilayah agar sasaran yang ingin dicapai dapat terlaksana dengan baik dibutuhkan biaya, tenaga, dan waktu yang tepat. Untuk menentukan hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu kualitatif dan kuantitatif.

a.       Kualitatif

Suatu wilayah pertumbuhan memiliki ciri-ciri khusus sehingga dapat dibedakan dengan wilayah pertumbuhan lainnya. Contohnya pada wilayah perkebunan kelapa sawit dan kopi yang memiliki ciri khas daerah yang terhampar luas. Di wilayah inti, penduduk menanam kelapa sawit, dan makin jauh dari wilayah inti, persentase penduduk yang menanam kelapa sawit pun makin berkurang. Adapun makin jauh dari wilayah inti keadaan terbalik, di mana penduduk yang menanam kelapa sawit makin berkurang, dan sebagian besar penduduk menanam pohon kopi. Dengan demikian, pada dua wilayah tersebut terdapat wilayah yang tumpang tindih. Untuk itu, dalam penentuan batas wilayah pada kasus ini dapat dilakukan melalui perkiraan. Namun demikian, penentuan batas wilayah dengan cara ini umumnya kurang memuaskan dan memungkinkan munculnya masalah. Penentuan batas pertumbuhan wilayah dengan cara ini dinamakan dengan penentuan batas secara kualitatif.

b.      Kuantitatif

 Menentukan batas wilayah pertumbuhan wilayah secara kuantitatif dapat dilakukan dengan beberapa model sebagai berikut.

1)      Model Thiesen

Untuk menentukan batas wilayah pembangunan dengan model ini, diperlukan data yang bersifat kuantitatif. Misalnya data jumlah penduduk, curah hujan, dan iklim. Adapun untuk menentukan batas perwilayahan digunakan stasiun-stasiun pengamat cuaca yang tersebar di berbagai wilayah sebagai inti (core). Diantara dua stasiun yang berdekatan dihubungkan garis lurus, kemudian dibuat garis berat. Garis berat ini merupakan batas antara stasiun dengan lainnya. Jika beberapa stasiun yang berdekatan dibuat garis sejenis akan terbentuk poligon yang dikenal dengan nama poligon Thiesen.

2)      Model Reilly’s Law

Model ini didasarkan atas jarak jangkau pengaruh suatu pusat kegiatan. Antara dua pusat pertumbuhan memiliki gaya tarik menarik. Kekuatan daya tarik menarik setiap pusat akan berpengaruh terhadap jarak jangkau pengaruh pusat pertumbuhan yang bersangkutan. Dengan rumus:

 

 


2. Teori Grafik

 

Salah satu komponen penting interaksi antar wilayah adalah infrastruktur berupa jaringan jalan. Makin banyak jaringan jalan yang menghubungkan antar kota maka alternatif distribusi penduduk, barang dan jasa makin lancar. Anda tentu sependapat bahwa antara satu wilayah dan wilayah lain senantiasa dihubungkan oleh jalur-jalur transportasi sehingga membentuk pola jaringan transportasi. Tingkat kompleksitas jaringan yang menghubungkan berbagai wilayah merupakan salah satu indikasi kuatnya arus interaksi.

Sebagai contoh, dua wilayah yang dihubung kan dengan satu jalur jalan tentunya memiliki kemungkinan hubungan penduduknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan dua wilayah yang memiliki jalur transportasi yang lebih banyak.

Untuk menganalisis potensi kekuatan interaksi antarwilayah ditinjau dari struktur jaringan jalan sebagai prasarana transportasi, K.J. Kansky mengembangkan Teori Grafik dengan membandingkan jumlah kota atau daerah yang memiliki banyak rute jalan sebagai sarana penghubung kota-kota tersebut. Menurut Kansky, kekuatan interaksi ditentukan dengan Indeks Konektivitas. Semakin banyak jaringan jalan yang menghubungkan kota-kota maka makin tinggi nilai indeks konektivitasnya. Hal ini tentunya berpengaruh terhadap potensi pergerakan manusia, barang, dan jasa karena prasarana jalan sangat memperlancar tingkat mobilitas antarwilayah. Untuk menghitung indeks konektivitas ini digunakan rumus sebagai berikut.       

3. Teori Gravitasi

 

Teori Gravitasi kali pertama diperkenalkan dalam disiplin ilmu Fisika oleh Sir Issac Newton (1687). Inti dari teori ini adalah bahwa dua buah benda yang memiliki massa tertentu akan memiliki gaya tarik menarik antara keduanya yang dikenal sebagai gaya gravitasi. Kekuatan gaya tarik menarik ini akan berbanding lurus dengan hasil kali kedua massa benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak antara kedua benda tersebut. Secara matematis, model gravitasi Newton ini dapat diformulasikan sebagai berikut.

Model gravitasi Newton ini kemudian diterapkan oleh W.J. Reilly (1929), seorang ahli geografi untuk mengukur kekuatan interaksi keruangan antara dua wilayah atau lebih. Berdasarkan hasil penelitiannya, Reilly berpendapat bahwa kekuatan interaksi antara dua wilayah yang berbeda dapat diukur dengan memerhatikan faktor jumlah penduduk dan jarak antara kedua wilayah tersebut. Untuk mengukur kekuatan interaksi antarwilayah digunakan formulasi sebagai berikut.

 


 






Komentar

Postingan populer dari blog ini

SOAL LATIHAN ASESMEN MADRASAH

SEBARAN DAN PENGOLAHAN SUMBER DAYA KEHUTANAN, PERTAMBANGAN, KELAUTAN, DAN PARIWISATA

Perkembangan Jalur Transportasi di Indonesia